Tuesday, May 3, 2016

PERCAMBAHAN MINDA

PERCAMBAHAN MINDA

Ada golongan yg berparadigma scripturalist(faham zahir-tak ambik maksud) mengatakan bahwa al-Qur’an dan Hadis harus diimplementasikan secara literal, apa adanya. Oleh karena itu, kelompok ini menolak terhadap contextualisation Islam. Bagi mereka, kontektualisasi terhadap al-Qur’an dan Hadis adalah bertentangan dengan Islam itu sendiri. Pada abad pertengahan, kelompok ini disebut sebagai ahlu al-hadis, karena sikap mereka yang tak mau menggunakan ra’y (akal) untuk berijtihad.

Wbgmpun disaat umat Islam dihadapkan arus modernisasi dan globalisasi yang tak terbendung, problem2 yang dihadapi masyarakat semakin kompleks, misalnya pluralisme, demokrasi, negara bangsa (nation state), kesetaraan gender, kemiskinan dll.

Sebagai percambahan minda kita cuba bincangkan perlahan2 isu yg berkaitan.

Islam harus dikontekstualisasikan seiring dengan denyut nadi kehidupan. Prinsip perubahan dan perkembangan merupakan alasan utama mengapa Islam harus dikontekstualisasikan. Meski demikian, ada hal-hal yang tidak dapat dikontekstualisasikan dalam Islam, khususnya dalam persoalan akidah dan ibadah.

Prinsip contextualisation(hubungan antara teks dgn realiti kehidupan) dijelaskan dalam Al-Qur’an [5:48] "likulli ja’alna minkum syir’atan wa minhajaa"(untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan cara).
*teks yg dimaksudkan ialah yg terkandung didlm al-quran dan al-hadis.

Ayat tersebut menegaskan syari’at yang dibawa oleh para Nabi, sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad adalah berbeza. Perbezaan syari’at itu adalah disebabkan oleh perbedaan tradisi, budaya dan kondisi sosial masing-masing umatnya.

Allah swt sangat memperhatikan realiti sosial, tradisi dan budaya suatu umat bagi pengembangan syari’at selanjutnya, kerana agama itu memang diperuntukkan bagi manusia.

Dengan demikian,dalam menerapkan syari’ah harus ada kontekstual, harus memperhatikan realiti manusia yang akan melaksanakannya. Jika tidak, sangat dimungkinkan bahwa syari’ah tersebut tidak applicable dan relevan bagi manusia yang menerimanya.

Syari’at itu sememangnya diturunkan secara kontekstual demi untuk kemaslahatan manusia, yakni bersesuaian dgn kondisi sosio-historis masyarakat Arab pada waktu itu. Dalam kes khamar misalnya, Allah tidak melarangnya secara totok tetapi secara beransur2 (gradually).

Selain dari al-Qur’an, kita dapat temukan praktik kontekstualisasi pada generasi salaf. Umar bin Khattab misalnya, tidak menghukum seorang pembantu yang mencuri unta majikannya. Penyebab adalah si majikan tidak memberi upah pembantunya. Bahkan, Umar menghukum majikan tersebut dengan menyuruhnya membayar 800 dirham. Dari sini, kita dapat lihat bahwa Umar tidak berpegang pada bunyi teks secara harfiah, tetapi lebih mengutamakan kondisi si pembantu tersebut.

by admin.

No comments:

Post a Comment