Monday, May 23, 2016

Keharusan Sekularisme (part 1)

Keharusan Sekularisme (part 1)

Berbeda dengan para ulama tradisional yang mengharamkan sekularisme, saya justru melihatnya sebagai sebuah keharusan sejarah (baca: sunnatullah).

Alasannya sangat sederhana. Zaman terus berubah. Sebuah produk pemikiran (ijtihad) juga sudah berubah. Ia tidak boleh berlaku sepanjang masa dan kerananya perlu ditanggalkan bila sudah tidak relevan. Meninggalkan hasil ijtihad yang kurang relevan hukumnya adalah wajib.

Bahkan —meminjam istilah Thaha Husein— tanpa sekularisasi umat Islam tidak akan dapat menggapai kemajuan. Tentu saja, sekularisasi dalam Islam berbeza dengan sekularisasi yang terjadi di Barat, baik dari sudut pandang titik tolaknya maupun hasilnya.

Bila sekularisasi di Barat dimulai dari pemisahan ilmu, politik, dan masalah dunia dari kongkongan gereja, maka sekularisasi dalam Islam bermula dari upaya melepaskan umat dari ikatan-ikatan tradisi pemahaman ulama tradisional untuk kembali kepada al Qur’an dan Hadis.

Dengan demikian, bila kita mengikuti definisi yang dibuat Thaha Husein itu, maka sekularisasi sepadan dengan kata “pembebasan” (liberation). Maksudnya, sekularisasi adalah pembebasan umat Islam dari dari ikatan-ikatan ajaran agama yang bukan bersifat jumud.

Sebaliknya, mereka dianjurkan mengakses langsung dan “maju bersama al Qur’an”.

Proses pembebasan atau sekularisasi ini penting karena dua hal. Pertama, untuk memisahkan antara agama yang bersifat divine, sempurna, dan komprehensif dengan ilmu-ilmu agama itu sendiri yang amat bersifa temporal, relatif, dan bergantung pada anggapan-anggapan dasarnya.

Tanpa sekularisasi sebuah pemikiran (ijtihad) dan pemahaman terhadap agama tidak akan mampu berkembang dan jadi statik. Kebebasan berfikir (intellectual freedom) akan terhalang. Pemikiran agama akan senantiasa terkongkong pada atmosfera pengalaman lama akan membuat umat gagap dalam menghadapi serbuan perubahan zaman (modernity).

Kerana terikat pada tradisi yang sempit, keagamaannya pun jadi kaku. Perbezaan pendapat dan keyakinan senantiasa disikapi dengan cara-cara kekerasan. Singkatnya, pengharaman sekularisme menunjukkan gejala kemalasan berfikir.

Fenomena seperti itu, secara teologi, tentu saja berbahaya karena mendekati syirik. Menghormati hasil ijtihad para ulama terdahulu itu perlu, saya sangat setuju. Tetapi, menganggap pemikiran, pemahaman mereka seperti seolah-olah firman Tuhan, itu yang harus ditolak.

Oleh karena itu, desconstruction dan reconstruction terhadap hukum Islam menjadi perlu. Proses ini boleh dilakukan bila kita mampu membezakan mana yang merupakan authentic agama dan mana yang menjadi penafsiran terhadap agama.

Padahal kalau kita mahu jujur dan konsisten dengan keimanan, maka kita seharusnya lebih terbuka dengan idea-idea kemajuan. Kenapa?

Kerana sebuah kemajuan tidak akan dapat diperoleh tanpa ditopang dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan pernah diraih tanpa adanya sikap keterbukaan terhadap idea-idea pembaharuaan.Ilmu pengetahuan itu bersifat dinamik dan bukan statik.

Sayangnya, kebanyakan ulama Islam masih sangat tradisionalis. Selain terlalu terpaku pada warisan tradisi yang berorientasi kepada masa lalu, mereka juga enggan, bahkan alergi terhadap progress of idea, terutama bila itu dicurigai berasal dari Barat.

Fanatik berlebihan juga masih memenuhi benak mereka. Ini semata-mata mereka lakukan untuk mempertahankan majoriti fahaman mereka dalam menafsirkan agama (Islam). Sehingga, harus diakui bahwa bukan agama Islam yang menghalangi kemajuan sains tetapi para ulama lah yang melemahkan semangat komuniti Islam dalam mempelajari sains.

Lantaran terlalu fanatik pada agama, mereka hanya menekankan pengetahuan yang bercorak 'keagamaan'(menurut fahaman mereka) kepada generasi muda dan menafikan pendidikan professional yang justru sangat diperlukan. Akibatnya, mereka tidak mampu menghadapi persoalan kekinian, malah semakin anti terhadap ilmu pengetahuan modern. Inilah, antara lain, yang membuat fatwa-fatwa mereka tidak compatible dengan aspirasi zaman.

Atas nama agama, mereka mengutuk peradaban Barat yang dibangun di atas foundation ilmu pengetahuan dan sains, tanpa pernah mahu tahu kelebihannya.

admin .

No comments:

Post a Comment